BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Setiap manusia
mempunyai kepribadian/kejiwaan masing-masing yang terbentuk selama perjalanan
kehidupan yang dia alami. Adaptasi pada manusia tergantung pada penyesuaian
dirinya sendiri. Pada situasi baru, karena manusia tidak sepenuhnya bergantung
pada gen, seperti kebanyakan hewan. Adaptasi manusia bergantung pada sifat
bawaan sehingga diperlukan waktu untuk belajar, jadi kemampuan penyesuaiannya
benar-benar sangat kecil.
Menurut Roham (1995),
manusia hidup dilingkari (dipengaruhi) oleh berbagai kebutuhan dan kekurangan.
Iman manusia senantiasa dalam ujian dan perjuangan sesuai dengan pembelajaran.
Kadang-kadang Iman-Islam seseorang cemerlang diwaktu pagi lalu surut redam pada
waktu sore harinya. Pengaruh lingkungan sangat dominan, terhadap mutu
Iman-Islam seseorang.[[1]]
Oleh karena itu, kaimi
disini akan membahas tentang gangguan dalam perkembangan jiwa keagamaan dan
faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap perkembangan jiwa beragama agar kita
dapat mengerti pentingnya mengarahkan diri terhadap hal-hal positif supaya
menjadi insan yang lebih bermutu.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa saja yang termasuk gangguan faktor intern seseorang?
2.Apa saja yang termasuk gangguan faktor ekstern seseorang?
3. Fanatisme dan Ketaatan?
C. Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui gangguan faktor intern seseorang.
2. Mengetahui gangguan faktor ekstern seseorang.
3. mengetahui Fanatisme dan Ketaatan.
BAB II
PEMBAHASAN
Agama menyangkut kehidupan batin manusia. Oleh karena itu kesadaran agama
dan pengalaman agama seseorang lebih menggambarkn sisi-sisi batin dalam
kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakral dan dunia gaib. Sikap
keagamaan erupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang
mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap
agama.Beranjak dari kenyataan yang ada, maka sikap keagamaan terbentuk oleh dua
faktor, yaitu faktor intern dan faktor ekstern.Sikap keagamaan merupakan
integrasi secara kompleks antara pengetahuan agama, perasaan agama serta tindak
keagamaan dalam diri seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa sikap keagamaan
menyangkut atau berhubungan erat dengan gejala kejiwaan.
Pada garis besarnya teori mengungkapkan
bahwa sumber jiwa keagamaan berasal dari faktor intern dan dari faktor ekstern
manusia. Pendapat pertama menyatakan bahwa manusia adalah homo religius
(makhluk beragama), karena manusia sudah memiliki potensi untuk beragama.
Potensi tersebut bersumber dari faktor intern manusia yang termuat dalam
aspek kejiwaan manusia seperti naluri, akal, perasaan maupun kehendak dan
sebagainya. Namun, pendukung teori ini masih berbeda pendapat mengenai faktor
mana yang paling dominan.
Sebaliknya teori kedua menyatakan bahwa jiwa
keagamaan manusia bersumber dari faktor ekstern. Manusia terdorong untuk
beragama karena pengaruh faktor luar dirinya, seperti rasa takut, rasa
ketergantungan ataupun rasa bersalah. Faktor-faktor inilah yang menurut
pendukung teori tersebut kemudian mendorong manusia menciptakan suatu tata cara
pemujaan dan dikenal dengan nama agama.
Betapapun kedua pendekatan itu
tampak berbeda, namun keduanya tak mengingkari bahwa secara psikologis manusia
sulit dipisahkan dari agama. Pengaruh psikologis ini pula yang tercermin dalam
sikap dan tingkah laku keagamaan manusia, baik dalam kehidupan individu maupun
kehidupan sosialnya. Sama halnya dengan aspek-aspek kejiwaan lainnya seperti
terfikir, perasaan dan kemauan maka aspek kejiwaan yang berkaitan dengan
keagamaan pun mengalami perkembangan menurut fase-fase tertentu.
Para ahli Psikologi agama
membedakan tingkat perkebngan tersebut dari berbagai pendekaan. Ernest Harms
misalnya, menggunakan pendekatan berdasarkan tingkat usia perkembangan agama
pada anak-anak menjelang usia dewasa. Kemudian Sigmung Freud menggunakan gejala-gejala
ketaksadaran, Edward Sparanger menggunakan pendekatan berdasarkan pandangan
hidup. Dan masih banyak pendekatan yang dapat digunakan dalam mengkaji
perkembangan jiwa keagamaan.[[2]]
Berbagai pendekatan yang digunakan tersebut
mengisyaratkan bahwa jika jiwa keagamaan bukan merupakan aspek psikis bersifat
instinktif, yaitu unsur bawaan yang siap pakai.
Jiwa keagamaan juga mengalami proses perkembangan dalam mencapai tingkat
kematangannya. Dengan demikian, jiwa keagamaan tidak luput dari berbagai
gangguan yang dapat mempengaruhi perkembangannya. Pengaruh tersebut baik yang
bersumber dari dalam diri seseorang maupun yang bersumber dari faktor luar.
A. Faktor Intern
Faktor-faktor intern
yang berpengaruh terhadap perkembangan jiwa keagamaan antara lain adalah faktor
hereditas, tingkat usia, kepribadian dan kondisi kejiwaan seseorang.
1. Faktor Hereditas
Jiwa keagamaan memang
bukan secara langsung sebagai faktor bawaan yang diwariskan secara
turun-temurun, melainkan terbentuk dari unsur kejiwaan lainnya yang mencakup
kognitif, afektif dan konatif. Tetapi dalam penelitian terhadap janin terungkap
bahwa makanan dan perasaan ibu berpengaruh terhadap kondisi janin yang dikandungnya.
Rasul saw Menyatakan bahwa daging dari makanan yang haram, maka nerakalah yang
lebih berhak atasnya. Pernyataan ini setidaknya menunjukkan bahwa ada hubungan
antara status hukum makanan (halal dan haram) dengan sikap.
Meskipun belum
dilakukan penelitian mengenai hubungan antara sifat-sifat kejiwaan anak dengan
orang tuanya, namun tampaknya pengaruh tersebut dapat dilihat dari hubungan
emosional. Rasul saw menyatakan bahwa daging makanan yang haram, maka nerakalah
yang lebih berhak atasnya. Pernyataan ini setidaknya menunjukkan bahwa ada
hubungan antara status hukum makanan (halal dan haram) dengan sikap.
Selain itu Rasul saw.
Juga menganjurkan untuk memilih pasangan hidup yang baik dalam membina rumah
tangga, sebab menurut beliau keturunan berpengaruh. Benih berasal dari
keturunan tercela dapat mempengaruhi sifat-sifat keturunan berikutnya. Karenaya
menurut Rasull saw Selanjutnya: “Hati-hatilah dengan Hadra Al-Diman yaitu
wanita cantik dari lingkungan yang jelek.”
Perbuatan yang buruk
dan tercela jika dilakukan, menurut Sigmund Freud akan menimbulkan rasa bersalah
dalam diri pelakunya. Bila pelanggaran yang dilakukan terhadap larangan agama,
maka pada diri pelakunya akan timbul rasa berdosa. [[3]]
Dan perasaan seperti
ini barangkali yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan seseorang
sebagai unsur hereditas. Sebab, dari berbagai kasus pelaku zina sebagian besar
memiliki latar belakang keturunan dengan kasus serupa.
Prinsip Prinsip
Hereditas:
Prinsip dalam hal ini adalah aturan yang memang menjadi hukum atau bagian
teori yang menjadi pedoman bagi ilmuan atau pengguna untuk menjadikan hereditas
sebagai landasan pendidikan.
Dari beberapa penelitian tentang prinsip hereditas menurut catatan
(Tadjab:1994,29) bahwa diketemukan beberapa hal yang utama yakni :
1. Prinsip reproduksi; artinya menghasilkan
atau membuat kembali. Dalam hal ini proses penurunan sifat atau ciri hereditas
tersebut melalui sel benih, kemudian cirinya dalam bentuk nyata, maka nak harus
mengulang kembali dari awal pertumbuhan dan perkembangan serta pengalaman yang
telah dialami oleh generasai pendahulunya.
2. Prinsip konformitas; yakni setiap jenis
makhluk menurunkan jenisnya sendir dalam hal ini tidak akan melahirkan atau
menurunkan sifat sifat atau ciri ciri makhlik lain yang bukan ciri/sifatnya.
Prinsip ini termasuk aliran yang menolak bahwa manusia adalah keturunan dari
makhluk jenis lain.
3. Prinsip variasi; artinya setiap individu
disamping mewarisi sifat atau ciri umum yang sama, juga mewarisi sifat atau
ciri yang berbeda beda. Anak yang berasal dari orang tua yang sama, bahkan anak
kembar sekalipun mempunyai sifat atau ciri yang berbeda. Adalah tidak benar
bila dua orang manusia mempunyai sifat dan ciri yang persisi sama di muka bumi
ini.
4. Prinsip regresi filial; adalah sifat atau
ciri yang diturunkan dari generasi kegenerasi akan cenderung menuju kearah rata
rata. Prinsip ini memberikan pengertian bahwa anak dari orang tua yang sangat
cerdas menunjukkan kecenderungan untuk menjadi kurang cerdas daripada orang
tuanya. Sebaliknya anak dari orang tua yang lemah akan cenderung menjadi lebih
pintar.[[4]]
2. Tingkat Usia
Tingkat perkembangan
usia dan kondisi yang dialami remaja ini menimbulkan konflik kejiwaan, yang
cenderung mempengaruhi terjadinya konversi agama.Bahkan, menurut Starbuck
memang benar bahwa pada usia adolesensi sebagai rentang umur tipikal terjadinya
konversi agama. Hal ini juga menurut Ernest Harsm bahwa perkembangan agama pada
anak-anak ditentukan oleh tingkat usia mereka. Perkembangan tersebut dipengaruhi
pula oleh perkembangan berpikir.
Ternyata, anak yang
menginjak usia berpikir kritis lebih kritis pula dalam memahami ajaran agama.
Begitu juga, di saat remaja mereka menginjak kematangan seksual, pengaruh itu
pun menyertai perkembangan jiwa keagamaan mereka. Menurut penelitian Dr. Kinsey
pada tahun 1950an, 90% remaja Amerika melakukan masturbasi, homoseksua, dan
onani. [[5]]
Hubungan antara
perkembangan usia dengan perkembangan jiwa keagamaan tampaknya tak dapat
dihilangkan begitu saja. Bila konversi lebih dipengaruhi oleh sugesti, maka
tentunya konversi akan lebih banyak terjadi pada anak-anak, mengingat di
tingkat usia tersebut mereka lebih mudah menerima sugesti. Namun,
kenyataannyahingga usia baya pun masih terjadi konversi agama.
Terlepas dari ada
tidaknya hubungan konversi dengan tingkat usia seseorang, namun hubungan antara
tingkat usia dengan perkembangan jiwa keagamaan barangkali tak dapat diabaikan
begitu saja. Berbagai penelitian psikologi agama menunjukkan adanya hubungan
tersebut, meskipun tingkat usia bukan merupakan satu-satunya faktor penentu
dalam perkembangan jiwa keagamaan seseorang. Yang jelas, kenyataan ini dapat
dilihat dari adanya perbedaan pemahanan agama pada tingkat usia yang berbeda.[[6]]
3. Kepribadian
Kepribadian menurut
pandangan psikologi terdiri dari dua unsur, yaitu unsur hereditas dan pengaruh
lingkungan. Hubungan antara unsur hereditas dengan pengaruh lingkungan inilah
yang membentuk kepribadian. Adanya kedua unsur yang membentuk kepribadian itu
menyebabkan munculnya konsep tipologi dan karakter. Tipologi lebih ditekankan
kepada unsur bawaan.
Dilihat dari pandangan
tipologis, kepribadian manusia tidak dapat diubah karena sudah terbentuk
berdasarkan komposisi yang terdapat dalam tubuh.
Sebaliknya, dilihat
dari pendekatan karalterologis, kepribadian manusia dapat diubah dan tergantung
dari pengaruh lingkungan masing-masing.
Berangkat dari
pendekatan tipologis dan karakterologis, maka melihat ada unsur-unsur yang
bersifat tetap dan unsur yang dapat berubah membentuk struktur kepribadian
manusia. Unsur-unsur yang bersifat tetap berasal dari bawaan, sedangkan yang
dapat beruabh adalah karakter. Namun demikian, karakter pun menurut Erich Fromm
adalah relatif bersifat permanen.
Dari pendekatan
tipologis maupun karakterologis, maka terlihat ada unsur-unsur yang bersifat
tetap dan unsur-unsur yang dapat berubah membentuk struktur kepribadian
manusia. Unsur-unsur yang bersifat tetap berasal dari unsur bawaan, sedangkan
yang dapat berubah adalah karakter. Namun demikian, karakter pun menurut Erich Fromm
relatif bersifat permanen.[[7]]
Unsur pertama (bawaan)
merupakan faktor intern yang memberi ciri khas pada diri seseorang. Dalam
kaitan ini kepribadian sering disebut identitas (jati diri) seseorang yang
sedikit banyaknya menampilkan ciri-ciri pembeda dari individu lain di luarnya.
Dalam kondisi normal, memang secara individu manusia memiliki perbedaan dalam
kepribadiannya. Dan perbedaan ini diperkirakan berpengaruh terhadap
perkembangan aspek-aspek kejiwaan termasuk jiwa keagamaan.
Di luar itu, dijumpai
pula kondisi kepribadian yang menyimpang seperti kepribadianganda (double
personality) dan sebagainya. Kondisi seperti ini bagaimanapun ikut
mempengaruhi perkembanagn berbagai aspek kejiwaan pula. [[8]]
4. Kondisi Kejiwaan
Kondisi kejiwaan ini
terkait dengan kepribadian sebagai faktor intern. Ada beberapa model pendekatan
yang mengungkapkan hubungan ini. Model psikodinamik yang dikemukakan Sigmund
Freud menunjukkan gangguan kejiwaan ditimbulkan oleh konflik yang tertekan di
alam ketidaksadaran manusia. Konflik akan menjadi sumber gejala kejiwaan yang
abnormal. Selanjutnyua, menurut pendekatan biomedis, fungsi tubuh yang dominan
mempengaruhi kondisi jiwa seseorang. Penyakit ataupun faktor genetik atau
kondisi sistem saraf diperkirakan menjadi sumber munculnya perilaku abnormal.
Kemudian pendekatan eksistensial menekankan pada dominasi pengalaman kekinian
manusia. Dengan demikian, sikap manusia ditentukan oleh stimulan (rangsangan)
lingkungan yang dihadapinya saat itu.
Walaupun kemudian ada
pendekatan model gabungan. Enurut pendekatan ini pola kepribadian dipengaruhi
oleh berbagai faktor dan bukan hanya oleh faktor-faktor tertentu saja.
Pendekatan-pendekatan psikologi kepribadian ini menginformasikan bagaimana
hubungan kepribadian dengan kondisi
kejiwaan manusia.
Hubungn ini selanjutnya
mengungkapkan bahwa ada suatu kondisi kejiwaan yang cenderung bersifat
permanent pada diri manusia yang terkadang bersifat menyimpang (abnormal).
Gejala-gejala kejiwaan yang normal ini bersumber dari kondisi saraf,
kejiwaan, dan kepribadian. Kondisi kejiwaan yang bersumber dari saraf akan
menimbulkan gejala kecemasan saraf, absesi, dan kompulasi serta amnesia.
Kondisi kejiwaan yang disebabkan oleh kejiwaan umumnya menyebabkan seseorang
kehilangan kontak hubungan dengan dunia nyata. Gejala ini ditemui pada
penderita shizoprenia yang akan mengisolasi diri dari kehidupan sosial,
paranoia, maniac, serta infantile autism (berperilaku seperti anak-anak).[[9]]
Barangkali, Banyak jenis
perilaku abnormal yang bersumber dari kondisi kejiwaan yang tak wajar ini.
Tetapi yang penting dicermati adalah hubungannya dengan perkembangan jiwa
keagamaan. Sebab bagaimanapun seorang yang mengidap schizopernia akan
mengisolasi diri dari kehidupan social serta persepsinya tentang agama akan
dipengaruhi oleh berbagai halusinasi. Demikian pula pengidap phobia akan
dicekam oleh perasaan takut yang irasional. Sedangkan penderita infantile
autisme akan berperilaku seperti anak-anak di bawah usia sepuluh tahun.[[10]]
B. Faktor Ekstern
Manusia sering disebut homo relegius
(makhluk beragama). Pernyataan ini menggambarkan bahwa manusia memiliki potensi
dasar yang dapat dikembangkan sebagai makhluk beragama. Jadi manusia dilengkapi
potensi berupakesiapan untuk menerima pengaruh luar sehinnga dirinya dpat
dibentuk menjadi makhluk yang memiliki rasa dan perlaku keagamaan.
Potensi yang dimiliki manusia ini
secara umum disebut fitrah keagamaan, yaitu berupa kecenderungan untuk
bertauhid. Sebagai potensi maka perlu adanya pengaruh yang berasal dari luar
diri manusia. Pengaruh tersebut dapat berupa bimbingan, pembinaan, latihan,
pendidikan, dan sebagainya, yang secara umumnya disebut sosialisasi.
Faktor ekstern yang dinilai berpengaruh
dalam perkembangan jiwa keagamaan dapat dilihat dari lingkungan di mana
seseorang itu hidup.
Faktor ekstern yang
dinilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan dapat dilihat dari
lingkungan dimana seseorang itu hidup. Umumnya lingkungan tersebut dibagi
menjadi tiga, yaitu keluarga, institusi dan masyarakat.
1. Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan
satuan sosial yang paling sederhana dalam kehidupan manusia.
Anggota-anggotanya terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak. Bagi anak-anak,
keluarga merupakan lingkungan social pertama yang dikenalnya. Dengan demikian,
kehidupan keluarga menjadi fase sosialisasi awal bagi pembentukan jiwa
keagamaan anak.[[11]]
Sigmund Freud dengan konsep
father image (citra kebapaan) menyatakan bahwa perkembangan jiwa keagamaan anak
dipengaruhi oleh citra anak terhadap bapaknya. Jika seorang bapak menunjukkan
sikap dan tingkah laku yang baik, maka anak akan cenderung mengidentifikasi
sikap dan tingkah laku bapak pada dirinya. Begitu juga sebaliknya, jika bapak
menampilkan sikap dan tingkah laku buruk akan berpengaruh terhadap pembentukan
kepribadian anak.
Pengaruh kedua orang
tua terhadap perkembangan jiwa keagamaan anak dalam pandangan Islam sudah lama
disadari. Oleh karena itu, sebagai intervensi terhadap perkembangan jiwa
keagamaan tersebut, kedua orang tua diberikan beban tanggung jawab.
Ada semacam rangkaian
ketentuan yang dianjurkan kepada orang tua, yaitu mengadzankan ke telinga bayi
yang baru lahir, mengaqiqah, memberi nama yang baik, mengajarkan membaca
Alqur’an, membiasakan shalat serta bimbingan lainnya yang sejalan dengan
perintah agama. Keluarga dinilai sebagai faktor yang paling dominan dalam
meletakkan dasar bagi perkembangan jiwa keagamaan.
2. Lingkungan Institusional
Lingkungan
institusional yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan dapat berupa
institusi formal seperti sekolah ataupun yang nonformal seperti berbagai
perkumpulan dan organisasi.
Sekolah sebagai
institusi pendidikan formal ikut memberi pengaruh dalam membantu perkembangan
kepribadian anak. Menurut Singgih D. Gunarsa pengaruh itu dapat dibagi menjadi
tiga kelompok, yaitu 1) kurikulum dan anak; 2) hubungan guru dan murid;
dan 3) hubungan antar anak. dilihat dari kaitannya dengan perkembangan jiwa
keagamaan, tampaknya ketiga kelompok tersebutikut berpengaruh. Sebab,
pada prinsipnya perkembangan jiwa keagamaan tak dapat dilepaskan dari upaya
untuk membentuk kepribadian yang luhur.
Dalam ketiga kelompok itu secara umumtersirat
unsur-unsur yang menopang pembentukan tersebut seperti ketekunan, disiplin,
kejujuran, simpati, sosiabilitas, toleransi, keteladanan, sabar dan keadilan.
Perlakuan dan pembiasaan bagi pembentukan sifat-sifat seperti itu umumnya
menjadi bagian dari program pendidikan di sekolah.
Melalui kurikulum, yang
berisi materi pengajaran, sikap, dan keteladanan guru sebagai pendidik serta
pergaulan antarteman di sekolah sinilai berperan dalam menanamkan kebiasaan
yang baik. Pembiasaan yang baik merupakan bagian dari pembentukan moral yang
erat kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan seseorang.[[12]]
3. Lingkungan Masyarakat
Bisa dikatakan setelah
menginjak usia sekolah, sebagian besar waktu jaganya dihabiskan di sekolah dan
masyarakat.. berbeda dengan situasi di rumah dan sekolah, umumnya pergaulan di
masyarakat kurang menekankan pada disiplin atau aturan yang harus dipatuhi
secara ketat.
Meskipun tampaknya longgar,
namun kehidupan bermasyarakat dibatasi oleh berbagai norma dan nilai-nilai yang
didukung warganya. Karena itu, setiap warga berusaha untuk menyesuaikan sikap
dan tingkah laku dengan norma dan nilai-nilai yang ada. Dengan demikian,
kehidupan bermasyarakat memiliki suatu tatanan yang terkondisi untuk dipatuhi
bersama.
Lingkungan masyarakat
bukan merupakan lingkungan yang mengandung unsur tanggung jawab, melainkan
hanya merupakan unsure pengaruh belaka, tetapi norma dan tata nilai yang ada
terkadang lebih mengikat sifatnya.
Bahkan terkadang
pengaruhnya lebih besar dalam perkembangan jiwa keagamaan, baik dalam bentuk
positif maupun negative. Misalnya, Lingkungan masyarakat yang memiliki tradisi
keagamaan yang kuat akan berpengaruh positif bagi perkembangan jiwa keagamaan
anak, sebab kehidupan keagamaan terkondisi dalam tatanan nilai maupun institusi
keagamaan. Keadaan seperti ini bagaimanapun akan berpengaruh dalam pembentukan
jiwa keagamaan warganya.
Sebaliknya, dalam
lingkungan masyarakat yang lebih cair atau bahkan cenderung sekuler, kondisi
seperti ini jarang dijumpai. Kehidupan warganya lebih longgar, sehingga
diperkirakan turut mempengaruhi kondisi kehidupan keagamaan warganya.
C. Fanatisme dan Ketaatan
Fanatisme adalah kata
terjemahan untuk ta’ashshub yang berasal dari kata ta’ashshaba. Orang yang
memiliki sifat fanatik disebut dengan muta’ashshib. Dalam bahasa Arab
ta’ashshub juga diartikan sebagai asy-syadd (pengikatan) dan asy-syiddah
(kekerasan). Jika dikatakan, “Ta’shshaba rajulun ra`sahu”, berarti ia mengikat
kepalanya dengan sorban. Sedangkan kata al-‘ashaabah artinya kelompok yang
saling mengikat antara satu anggota dengan yang lain. Ta’ashshub adalah lawan
dari kata tasamuh (toleran).
Larangan fanatisme (ta’ashshub) sangat jelas diungkap dalam
hadits Rasulullah Saw., “Bukan termasuk golongan kami (kaum Mukminin) orang
yang mengajak kepada fanatisme, atau membunuh karena fanatisme, atau mati dalam
keadaan fanatisme” (HR Abu Dawud dari Jabir).
Menurut Ibnu Taimiyah,
hadits ini menjelaskan bahwa fanatisme seseorang secara mutlak pada suatu
kelompok merupakan perbuatan kaum jahiliyah. Ini jelas dilarang dan dicela.
Berbeda dengan perbuatan mencegah orang zalim atau membantu orang yang
dizalimi, tanpa didorong oleh permusuhan, maka itu adalah baik, bahkan wajib
hukumnya. Tak ada kontradiksi antara hal tersebut dengan ungkapan hadits,
“Tolonglah saudaramu yang menzalimi dan yang dizalimi.” Menolong yang dizalimi
kita sudah paham, sedangkan menolong yang menzalimi adalah dengan cara mencegah
orang tersebut berbuat zalim.[[13]]
Arti fanatisme yang tercela,
menurut Prof. Yusuf Qaradhawi adalah jika seseorang membela secara membabi buta
terhadap keyakinannya, madzhabnya, pemikirannya, pendapatnya, kaumnya, dan
kelompoknya, sehingga ia tidak mau melakukan dialog dengan orang yang berbeda
dalam prinsip-prinsip dasar maupun variabel cabang dengannya. Atau jika ia
menutup semua pintu rapat-rapat dari setiap orang yang hendak mendekat
kepadanya, dan ia hanya mau menghadapi mereka dengan pedang.
Definisi fanatisme di
atas amat penting untuk dipahami. Sebab sebagian orang ada yang menganggap
siapa pun yang memiliki komitmen keagamaan yang tinggi sebagai orang fanatisme.
Khususnya, jika ia berpegang teguh pada tuntunan perilaku yang ditinggalkan
oleh kebanyakan orang. Seperti, memelihara jenggot bagi laki-laki, mengenakan
jilbab atau cadar bagi wanita, dan sebagainya.
Sikap seperti di atas,
sesungguhnya bukan termasuk fanatisme, jika lahir dari kesadaran diri dan
dorongan batinnya yang terdalam akan suatu hukum syari’at yang ia pahami. Kita
tidak boleh menyuruh orang yang meyakini sunnahnya memanjangkan jenggot untuk
mencukur jenggotnya, hanya untuk menyenangkan orang lain atau agar tidak
dianggap orang fanatisme. Kita pun tidak boleh melarang wanita mengenakan
jilbab di sekolah atau di kantor dengan alasan aturan atau ketentuan yang
dibuat-buat.
Kita baru bisa mengecam
dan mencapnya fanatisme, jika ia hendak memaksakan pendapatnya pada setiap
orang yang berbeda pandangan dengannya. Atau, menuduh mereka melakukan
perbuatan maksiat dan lemah komitmen agamanya, hanya karena ia meyakini
kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita. Meskipun kita tahu bahwa jilbab adalah
sesuatu yang wajib bagi wanita Muslimah, sebagaimana firman Allah dalam Surat
An-Nur ayat 31.
Fanatisme terjadi bila
seseorang mematok akalnya pada pemikiran tertentu, dan tidak mau membuka pintu
untuk berdialog dengan orang-orang yang berlainan keyakinan, pemikiran,
pandangan fiqih, pandangan politik, serta tidak mau melakukan introspeksi
sedikit pun. Ia malah menganggap pendapatnya sebagai yang paling benar,
sedangkan pendapat orang lain salah dan keliru.
Seseorang yang bersikap
fanatisme tidak melihat selain dirinya, tidak mendengar kecuali ucapannya
sendiri, dan tidak percaya pada orang lain di luar kelompok atau jamaah tempat
ia berafiliasi. Dari titik itulah ia berangkat dan ke arah itu pulalah ia
finish. Ia menutup pikiran dan dirinya dari orang lain. Orang di luar
kelompoknya dianggap “orang lain” (the others). Bahkan ada mengkafirkan
lantaran tidak mau memberikan loyalitas kepada kelompoknya.[[14]]
Suatu tradisi keagamaan
dapat menimbulkan dua sisi dalam perkembangan jiwa seseorang, yaitu fanatisme
dan ketaatan. Mengacu kepada pendapat Erich Fromm bahwa karakter terbina
melalui asimilasi dan sosialisasi, maka tradisi keagamaan memenuhi kedua aspek
tersebut.
Suatu tradisi membuka peluang
bagi warganya untuk berhubungan dengan warga lainnya (sosialisasi). Selain itu
juga, terjadi hubungan dengan benda-benda yang mendukung berjalannya tradisi
keagamaan tersebut (asimilasi), seperti institusi keagamaan dan sejenisnya.
Hubungan ini menurut Erich Fromm berpengaruh terhadap pembentukan karakter
seseorang.[[15]]
David Riesman melihat ada tiga
model konfirmitas karakter, yaitu: 1) arahan tradisi (tradition directed); 2)
arahan dalam (inner directed); dan 3) arahan orang lain (other directed), sebagai
jabaran tipe karakter.Tetapi tulis Gardon Allport, Buss dan Plomin,
perkembangan emosional merupakan sentral bagi konsep tempramen dan kepribadian.[[16]]
David Riesman melihat bahwa
tradisi kultural sering dijadikan penentu dimana seseorang harus melakukan apa
yang telah dilakukan nenek moyang. Dalam menyikapi tradisi keagamaan juga tak
jarang munculnya kecenderungan seperti itu. Jika kecenderungan taqlid keagamaan
tersebut dipengaruhi unsur emosional yang berlebihan, maka terbuka peluang bagi
pembenaran spesifik. Kondisi ini akan menjurus kepada fanatisme.
Sifat fanatisme dinilai merugikan bagi kehidupan beragama. Sifat ini
dibedakan dari ketaatan. Sebab, ketaatan merupakan upaya untuk menampilkan
arahan dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agama.
Fanatisme ditimbulkan dari
keterkaitan emosional dengan tradisi keagamaan yang dipahaminya benar. Jika
seorang telah fanatic terhadap agamanya, maka ia akan melakukan segala hal
pembenaran dari pemahamannya terhadap agama.
Sikap fanatic akan berdampak tidak harmonisnya dalam sistem sosial karena
jika ada orang yang menentangnya, maka ia akan melakukan hal yang dapat
membahayakan jiwa manusia, seperti kekerasan antaragama, teroris, dan lain
sebagainya. Berbeda dengan ketaatan, karena taat merupakan menunjukkan sikap
yang diarahkan oleh agamanya, mengahayati, dan mengamalkan ajaran agama.[[17]]
Itulah bentuk fanatisme yang
sesungguhnya. Mereka mengunci mati pendengaran, penglihatan dan hati mereka
untuk menerima kebenaran yang disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah," mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang
telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami’. ‘(Apakah mereka akan
mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu
apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" Dan perumpamaan (orang yang menyeru)
orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak
mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka
(oleh sebab itu) mereka tidak mengerti’” (QS Al-Baqarah: 170-171).
Zaman telah berubah. Makna
fanatisme pun mengalami distorsi. Orang yang berusaha keras untuk menerima dan
mensosialisasikan kebenaran untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari, seringkali mendapat cemoohan sebagai fanatisme.
Sementara, mereka yang memaksakan dan memasyarakatkan keburukan, kejahatan,
kekejian, perjudian, perzinaan, dan yang sejenisnya tidak pernah dikecam.
Bahkan masyarakat cenderung membiarkannya. Semoga kita tidak termasuk orang
yang memiliki sikap fanatisme jahiliyah. Na’uudzubillahi min dzalik. Wallahu
a’lam bishshawab. [[18]]
Orang taat belum tentu fanatik.
Istilah fanatik adalah orang yang membela mati-matian agamanya dengan cara
apapun namun belum tentu mengerti ajaran dalam agamanya, sedangkan taat adalah
orang yang telah mengerti ajaran dalam agamanya namun belum tentu membela
mati-matian agamanya.
Contoh sederhananya adalah saat
pertandingan sepak bola. Orang bisa saja mendukung salah satu tim sepakbola
atau istilahnya menjadi suporter tapi belum tentu mengerti ilmu dalam sepakbola
atau palingan hanya taunya mencetak gol dengan memasukan bola ke kandang lawan,
ini salah satu contoh sederhana dari orang fanatik.
Sementara contoh sederhana dari
orang taat adalah orang yang telah mengerti ilmu dalam sepakbola tapi belum
tentu ia menjadi suporter salah satu tim sepakbola.
Begitupun dalam agama. ada yang
namanya tentara Hizbullah (Islam), tentara Salib (Katolik), tentara Reformator
(Protestan), tentara Zionis (Yahudi), maupun tentara Khmer (Buddha) namun belum
tentu mereka menjadi ustad, Pendeta, pastor, biksu, maupun rabbi.Fanatik sering
disalah artikan dengan fanatik buta, picik. Fanatik buta atau picik adalah
orang yang membela mati-matian ajaran atau aliran tertentu yang dibawakan oleh
seseorang walaupun jelas-jelas yang dibelanya bersalah.Kita sebagai umat Tuhan
harus fanatik, didalam kefanatikan baru ada ketaatan. Taat tetapi tidak
fanatik, artinya taat karena takut.
Masalahnya adalah apa yang kita
fanatikan. Kalau kita fanatik terhadap agama, maka kita akan mentaati perintah
agama, dan perintah agama itu adalah perintah manusia, adat istiadat dan
tradisi. Akhirnya banyak orang dipermainkan oleh para pemimpin agama atau
tokoh-tokohnya untuk kepentingan politik mereka. Karena yang mempu membuat dan
merubah perintah, adat dan tradisi adalah mereka.
Kita harus fanatik terhadap
Tuhan, sebagai pencari Tuhan, sebagai pecinta Tuhan. Itu baru benar, sehingga
kita percaya penuh dan bulat pada Tuhan dan FirmanNya, kita mentaati kehendak
Tuhan dan hidup dengan iman yang bulat mengiring Tuhan. Itu baru fanatik yang
benar.Ingatlah juga bahwa ada Roh Kudus yang diutus kedunia untuk membantu kita
memahami Alkitab, memahami setiap pengajaran dan tafsir Alkitab, membimbing kita
untuk melangkah bersama Tuhan. Karena itu jangan anda takut fanatik dan tesesat
dengan pengajaran. Sebab Roh Kudus yang akan menyatakan apa yang benar dan
salah. Fanatik yang tidak benar juga adalah fanatik terhadap denominasi atau
tafsir denominasi. Itu membuat buta akan kebenaran dan menjadikan saudara seiman
musuh jika bukan satu golongan organisasi.
Tanpa fanatik, kita tidak
memiliki iman yang cukup untuk mengalahkan dunia dan kepentingannya.“Mereka
berkata, ‘Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru
kami kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada
dinding, maka bekerjalah kamu; sesungguhnya kami bekerja (pula)’” (QS
Fushshilat: 5).
Kadang kita mendengar seseorang
melontarkan ungkapan “fanatik” kepada Muslim yang ketat dan hati-hati dalam
melaksanakan ajaran Islam. Seorang Muslim yang mempertahankan pendapat bahwa
berjabat tangan antara pria dan wanita yang bukan mahram adalah terlarang,
dianggap fanatik. Yang mengatakan jilbab itu wajib adalah fanatik. Yang
mengharamkan pacaran dicap fanatik, dan seterusnya.
D. Cara Mengatasi Gangguan Jiwa Beragama
Proses perbaikan
manusia selain memperbaiki organisasi tubuh dengan perintah syari’ah dalam
makan-minum yang halal, baik, cukup dan tidak berlebihan, maka perlu pula
memperbaiki aspek ilmu, pemahaman, dan kesadaran melalui serangkaian upaya da’wah
(penyampaian secara sistematis dan kontinyu mana yang benar dan mana yang
batil), tazkiyah (pembersihan Syubhat, musyrik, khurafat, dalam pikiran
sehingga virus-virus pemikiran, dan kesesatan cara berpikir dan
pengetahuan yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam pendidikan (tarbiyah)
yang lebih sistematik, maka kesalehan individu, kesalehan masyarakat dan
kesalehan sistem bernegara menjadi bagian terintegrasi untuk melahirkan manusia
sempurna (Al-Insanu al-Kamil).[[19]]
Larson dan Wilson
(1982), menyimpulkan bahwa: “agama berperan sebagai pelindung dari berbagai
problem dan bukan sebagai penyebab masalah”; bahwa religiusitas dimasa remaja
sangat rendah, bahkan tidak ada, ternyata mempunyai resiko lebih tinggi
terlibat dalam penyalahgunaan narkotik . Menurut Larson, orang yang rajin
beribadah dan religiusitasnya tinggi, ternyata tekanan darahnya jauh lebih
rendah dibandingkan orang yang tidak meyakini dan menghayati agama. Menurutnya,
bahwa ada hubungan kausalitas antara religious commitment dengan penyakit
kardiovaskuler. Berdasarkan sampel penelitiannya, bahwa kelompok yang
menjalankan ibadah keagamaan secara rutin memiliki risiko lebih rendah terkena
kardiovaskuler (tekanan darah tinggi).
Untuk mengatasi
gangguan jiwa dibutuhkan terapi, karena terapi bertujuan untuk mengubah
kesadaran individu, sehingga sumber permasalahan intrapsikis yang semula tidak
sadar, menjadi sadar.[[20]]
Dibutuhkan
terapi-terapi bertujuan untuk mengubah kesadaran individu, sehingga sumber
permasalahan intrapsikis yang semula tidak sadar, menjadi sadar.
Terapi alternatif bagi
gangguan kejiwaan:
1. Pengobatan oleh kekuatan diri sendiri
2. Pengaturan pola makan dan nutrisi
3. Terapi dengan menggunakan hewan
4. Terapi seni
5. Terapi tari/gerak
6. Terapi musik/bunyi
a. Akupuntur
b. Ayurveda
c. yoga
Tingkah laku keagamaan
orang dewasa memiliki persepektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang
dipilihnya. selain itu tinghkah laku itu umumnya juga dilandasi oleh pendalaman
pengertian dan keluasan pemahaman dtentang ajran agama yang dianutnya. Beragama
bagi orang dewasa sudah merupakan bagian dari komitmen hidupnya dan bukan
sekedar ikut-ikutan. Menurut Jalaluddin, gambaran dan cerminan tingkah laku
keagamaan orang dewasa dapat pula di lihat dari sikap keagamaanya yang memiliki
ciri-ciri antara lain:
a) Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang,
bukan secara ikut-ikutan.
b) Bersifat cenderung realis, sehingga norma-norma Agama lebih banyak di
aplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
c) Bersikap positift thingking terhadap ajaran dan norma-norma agama dan
berusaha mempelajari dan pemahaman agama.
d) Tingkat ketaatan agama, berdasarkan atas pertimbangan dan tanggungjawab
diri sehingga sikap keberagamaan merupakan realisasi diri dari sikap hidup.
e) Bersikap yang lebih terbuka dan
wawasan yang lebih luas.
f) Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan
beragama selain di dasarkan atas pertimbangan pikiran juga di dasarkan atas
pertimbangan hati nurani.
g) Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian
masing-masing, sehingga terikat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima,
memahami, serta melaksanakan ajaran agama yang di yakininya.
h) Terlihat hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial,
sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah
berkembang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sikap keagamaan terbentuk oleh dua faktor, yaitu faktor intern dan faktor
ekstern.Faktor-faktor intern yang berpengaruh terhadap perkembangan jiwa
keagamaan antara lain adalah faktor hereditas, tingkat usia, kepribadian dan
kondisi kejiwaan seseorang.
Faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan
dapat dilihat dari lingkungan di mana seseorang itu hidup.
Faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan
dapat dilihat dari lingkungan dimana seseorang itu hidup. Umumnya lingkungan
tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu keluarga, institusi dan masyarakat.
Fanatisme ditimbulkan dari keterkaitan emosional dengan tradisi keagamaan
yang dipahaminya benar. Jika seorang telah fanatic terhadap agamanya, maka ia
akan melakukan segala hal pembenaran dari pemahamannya terhadap agama. Sikap
fanatic akan berdampak tidak harmonisnya dalam sistem sosial karena jika ada
orang yang menentangnya, maka ia akan melakukan hal yang dapat membahayakan
jiwa manusia, seperti kekerasan antaragama, teroris, dan lain sebagainya.
B. Kritik dan
Saran
Untuk menuju kesempurnaan tentu butuh koreksi dari semua pihak yaitu
koreksi yang bersifat konstruktif agar pembuatan makalah selanjutnya dapat
lebih baik, oleh karena itu penulis mengharapkan adanya koreksi dari pembaca
agar kesempurnaan dalam penulisan makalah dapat tercapai. Atas kritik dan
sarannya kami ucapkan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Barnadib, Sutari Imam, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis.
Yogyakarta: FIP-IKIP. 1987.
Iman, Setiadi Arif,Dinamika Kepribadian, Gangguan dan Terapinya.
Bandung: Refika Aditama. 2006.
Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada. 2012
Purwonto, Yadi, dan Rachmat Mulyono. Psikologi Marah, Persepektif
Psikologi Islami. Bandung: PT. Refika Aditama. 2006.
Purwanto, Yadi. Psikolgi Kepribaian Integritas Nafsiyah dan ‘Aqliyah. Bandung:
PT Refika Aditama. 2007.
Y. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk Membimbing.
Jakarta: Gunung Mulia. 1989.
William T. Garrison, & Felson J.
Earls, Temprament and Child Psychology. vol 12, London: 1987.
[1]Yadi Purwonto, dan Rachmat Mulyono, Psikologi Marah, Persepektif
Psikologi Islami, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), hlm 60.
[2] Jalaluddin, Psikologi
Agama. Hlm303-305.
[3]Jalaluddin, Psikologi
Agama. Hlm 305-307.
[4] Sutari Imam
Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, Yogyakarta: FIP-IKIP, 1987 hal.
117.
[5]Ramayulis, Psikologi
Agama. Hlm 137.
[6]Jalaluddin, Psikologi
Agama. Hlm 307-308.
[7]Ibid, Hlm 308
[8]Jalaluddin, Psikologi
Agama. Hlm 309-310.
[9]Ibid, Hlm 310
[10]Jalaluddin, psikologi
Agama. Hlm 310-311.
[11]Ibid, Hlm 312.
[12]Jalaluddin, Psikologi
Agama. Hlm 313
[13]Y. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk
Membimbing, Jakarta: Gunung Mulia, 1989,
hal 96.
[14] Y. Singgih D.
Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk Membimbing, Jakarta: Gunung
Mulia, 1989, hal 97
[15]Jalaluddin, Psikologi
Agama, Hlm 314
[16]William T.
Garrison, & Felson J. Earls,
Temprament and Child Psychology, vol 12, London, 1987, hal. 39.
[17]Jalaluddin, Psikologi
Agama, Hlm 315
[18] Y. Singgih D.
Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk Membimbing, Jakarta: Gunung
Mulia, 1989, hal 98
[19] Yadi Purwanto,
Psikolgi Kepribaian Integritas Nafsiyah dan ‘Aqliyah, (Bandung: PT Refika
Aditama, 2007), hlm. 156.
[20]Setiadi Arif,
Iman, Dinamika Kepribadian, Gangguan dan Terapinya, (Bandung: Refika Aditama,
2006), hal. 87.
Online Casino Canada – A Safe & Secure Way to Play
BalasHapusAs of now, Canadian players can access online casino online Canada. With over 888 바카라 Casino and over 888 Sportsbook available to play, it is a septcasino must play online 제왕카지노