Jumat, 23 Januari 2015

psikologi agama



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Setiap manusia mempunyai kepribadian/kejiwaan masing-masing yang terbentuk selama perjalanan kehidupan yang dia alami. Adaptasi pada manusia tergantung pada penyesuaian dirinya sendiri. Pada situasi baru, karena manusia tidak sepenuhnya bergantung pada gen, seperti kebanyakan hewan. Adaptasi manusia bergantung pada sifat bawaan sehingga diperlukan waktu untuk belajar, jadi kemampuan penyesuaiannya benar-benar sangat kecil.
Menurut Roham (1995), manusia hidup dilingkari (dipengaruhi) oleh berbagai kebutuhan dan kekurangan. Iman manusia senantiasa dalam ujian dan perjuangan sesuai dengan pembelajaran. Kadang-kadang Iman-Islam seseorang cemerlang diwaktu pagi lalu surut redam pada waktu sore harinya. Pengaruh lingkungan sangat dominan, terhadap mutu Iman-Islam seseorang.[[1]]
Oleh karena itu, kaimi disini akan membahas tentang gangguan dalam perkembangan jiwa keagamaan dan faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap perkembangan jiwa beragama agar kita dapat mengerti pentingnya mengarahkan diri terhadap hal-hal positif supaya menjadi insan yang lebih bermutu.

B.     Rumusan Masalah
1. Apa saja yang termasuk gangguan faktor intern seseorang?
2.Apa saja yang termasuk gangguan faktor ekstern seseorang?
3. Fanatisme dan Ketaatan?

C.    Tujuan Penulisan
1. Mengetahui gangguan faktor intern seseorang.
2. Mengetahui gangguan faktor ekstern seseorang.
3. mengetahui Fanatisme dan Ketaatan.




BAB II
PEMBAHASAN
Agama menyangkut kehidupan batin manusia. Oleh karena itu kesadaran agama dan pengalaman agama seseorang lebih menggambarkn sisi-sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakral dan dunia gaib. Sikap keagamaan erupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama.Beranjak dari kenyataan yang ada, maka sikap keagamaan terbentuk oleh dua faktor, yaitu faktor intern dan faktor ekstern.Sikap keagamaan merupakan integrasi secara kompleks antara pengetahuan agama, perasaan agama serta tindak keagamaan dalam diri seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa sikap keagamaan menyangkut atau berhubungan erat dengan gejala kejiwaan.
      Pada garis besarnya teori mengungkapkan bahwa sumber jiwa keagamaan berasal dari faktor intern dan dari faktor ekstern manusia. Pendapat pertama menyatakan bahwa manusia adalah homo religius (makhluk beragama), karena manusia sudah memiliki potensi untuk beragama.
Potensi tersebut bersumber dari faktor intern manusia yang termuat dalam aspek kejiwaan manusia seperti naluri, akal, perasaan maupun kehendak dan sebagainya. Namun, pendukung teori ini masih berbeda pendapat mengenai faktor mana yang paling dominan.
      Sebaliknya teori kedua menyatakan bahwa jiwa keagamaan manusia bersumber dari faktor ekstern. Manusia terdorong untuk beragama karena pengaruh faktor luar dirinya, seperti rasa takut, rasa ketergantungan ataupun rasa bersalah. Faktor-faktor inilah yang menurut pendukung teori tersebut kemudian mendorong manusia menciptakan suatu tata cara pemujaan dan dikenal dengan nama agama.
      Betapapun kedua pendekatan itu tampak berbeda, namun keduanya tak mengingkari bahwa secara psikologis manusia sulit dipisahkan dari agama. Pengaruh psikologis ini pula yang tercermin dalam sikap dan tingkah laku keagamaan manusia, baik dalam kehidupan individu maupun kehidupan sosialnya. Sama halnya dengan aspek-aspek kejiwaan lainnya seperti terfikir, perasaan dan kemauan maka aspek kejiwaan yang berkaitan dengan keagamaan pun mengalami perkembangan menurut fase-fase tertentu.
      Para ahli Psikologi agama membedakan tingkat perkebngan tersebut dari berbagai pendekaan. Ernest Harms misalnya, menggunakan pendekatan berdasarkan tingkat usia perkembangan agama pada anak-anak menjelang usia dewasa. Kemudian Sigmung Freud menggunakan gejala-gejala ketaksadaran, Edward Sparanger menggunakan pendekatan berdasarkan pandangan hidup. Dan masih banyak pendekatan yang dapat digunakan dalam mengkaji perkembangan jiwa keagamaan.[[2]]


      Berbagai pendekatan yang digunakan tersebut mengisyaratkan bahwa jika jiwa keagamaan bukan merupakan aspek psikis bersifat instinktif, yaitu unsur bawaan yang siap pakai.
Jiwa keagamaan juga mengalami proses perkembangan dalam mencapai tingkat kematangannya. Dengan demikian, jiwa keagamaan tidak luput dari berbagai gangguan yang dapat mempengaruhi perkembangannya. Pengaruh tersebut baik yang bersumber dari dalam diri seseorang maupun yang bersumber dari faktor luar.
A.    Faktor Intern
Faktor-faktor intern yang berpengaruh terhadap perkembangan jiwa keagamaan antara lain adalah faktor hereditas, tingkat usia, kepribadian dan kondisi kejiwaan seseorang.
1.      Faktor Hereditas
Jiwa keagamaan memang bukan secara langsung sebagai faktor bawaan yang diwariskan secara turun-temurun, melainkan terbentuk dari unsur kejiwaan lainnya yang mencakup kognitif, afektif dan konatif. Tetapi dalam penelitian terhadap janin terungkap bahwa makanan dan perasaan ibu berpengaruh terhadap kondisi janin yang dikandungnya. Rasul saw Menyatakan bahwa daging dari makanan yang haram, maka nerakalah yang lebih berhak atasnya. Pernyataan ini setidaknya menunjukkan bahwa ada hubungan antara status hukum makanan (halal dan haram) dengan sikap.
Meskipun belum dilakukan penelitian mengenai hubungan antara sifat-sifat kejiwaan anak dengan orang tuanya, namun tampaknya pengaruh tersebut dapat dilihat dari hubungan emosional. Rasul saw menyatakan bahwa daging makanan yang haram, maka nerakalah yang lebih berhak atasnya. Pernyataan ini setidaknya menunjukkan bahwa ada hubungan antara status hukum makanan (halal dan haram) dengan sikap.
Selain itu Rasul saw. Juga menganjurkan untuk memilih pasangan hidup yang baik dalam membina rumah tangga, sebab menurut beliau keturunan berpengaruh. Benih berasal dari keturunan tercela dapat mempengaruhi sifat-sifat keturunan berikutnya. Karenaya menurut Rasull saw Selanjutnya: “Hati-hatilah dengan Hadra Al-Diman yaitu wanita cantik dari lingkungan yang jelek.”
Perbuatan yang buruk dan tercela jika dilakukan, menurut Sigmund Freud akan menimbulkan rasa bersalah dalam diri pelakunya. Bila pelanggaran yang dilakukan terhadap larangan agama, maka pada diri pelakunya akan timbul rasa berdosa. [[3]]
Dan perasaan seperti ini barangkali yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan seseorang sebagai unsur hereditas. Sebab, dari berbagai kasus pelaku zina sebagian besar memiliki latar belakang keturunan dengan kasus serupa.


Prinsip Prinsip Hereditas:
Prinsip dalam hal ini adalah aturan yang memang menjadi hukum atau bagian teori yang menjadi pedoman bagi ilmuan atau pengguna untuk menjadikan hereditas sebagai landasan pendidikan.
Dari beberapa penelitian tentang prinsip hereditas menurut catatan (Tadjab:1994,29) bahwa diketemukan beberapa hal yang utama yakni :
1.      Prinsip reproduksi; artinya menghasilkan atau membuat kembali. Dalam hal ini proses penurunan sifat atau ciri hereditas tersebut melalui sel benih, kemudian cirinya dalam bentuk nyata, maka nak harus mengulang kembali dari awal pertumbuhan dan perkembangan serta pengalaman yang telah dialami oleh generasai pendahulunya.
2.      Prinsip konformitas; yakni setiap jenis makhluk menurunkan jenisnya sendir dalam hal ini tidak akan melahirkan atau menurunkan sifat sifat atau ciri ciri makhlik lain yang bukan ciri/sifatnya. Prinsip ini termasuk aliran yang menolak bahwa manusia adalah keturunan dari makhluk jenis lain.
3.      Prinsip variasi; artinya setiap individu disamping mewarisi sifat atau ciri umum yang sama, juga mewarisi sifat atau ciri yang berbeda beda. Anak yang berasal dari orang tua yang sama, bahkan anak kembar sekalipun mempunyai sifat atau ciri yang berbeda. Adalah tidak benar bila dua orang manusia mempunyai sifat dan ciri yang persisi sama di muka bumi ini.
4.      Prinsip regresi filial; adalah sifat atau ciri yang diturunkan dari generasi kegenerasi akan cenderung menuju kearah rata rata. Prinsip ini memberikan pengertian bahwa anak dari orang tua yang sangat cerdas menunjukkan kecenderungan untuk menjadi kurang cerdas daripada orang tuanya. Sebaliknya anak dari orang tua yang lemah akan cenderung menjadi lebih pintar.[[4]]
2.      Tingkat Usia
Tingkat perkembangan usia dan kondisi yang dialami remaja ini menimbulkan konflik kejiwaan, yang cenderung mempengaruhi terjadinya konversi agama.Bahkan, menurut Starbuck memang benar bahwa pada usia adolesensi sebagai rentang umur tipikal terjadinya konversi agama. Hal ini juga menurut Ernest Harsm bahwa perkembangan agama pada anak-anak ditentukan oleh tingkat usia mereka. Perkembangan tersebut dipengaruhi pula oleh perkembangan berpikir.
Ternyata, anak yang menginjak usia berpikir kritis lebih kritis pula dalam memahami ajaran agama. Begitu juga, di saat remaja mereka menginjak kematangan seksual, pengaruh itu pun menyertai perkembangan jiwa keagamaan mereka. Menurut penelitian Dr. Kinsey pada tahun 1950an, 90% remaja Amerika melakukan masturbasi, homoseksua, dan onani. [[5]]

Hubungan antara perkembangan usia dengan perkembangan jiwa keagamaan tampaknya tak dapat dihilangkan begitu saja. Bila konversi lebih dipengaruhi oleh sugesti, maka tentunya konversi akan lebih banyak terjadi pada anak-anak, mengingat di tingkat usia tersebut mereka lebih mudah menerima sugesti. Namun, kenyataannyahingga usia baya pun masih terjadi konversi agama.
Terlepas dari ada tidaknya hubungan konversi dengan tingkat usia seseorang, namun hubungan antara tingkat usia dengan perkembangan jiwa keagamaan barangkali tak dapat diabaikan begitu saja. Berbagai penelitian psikologi agama menunjukkan adanya hubungan tersebut, meskipun tingkat usia bukan merupakan satu-satunya faktor penentu dalam perkembangan jiwa keagamaan seseorang. Yang jelas, kenyataan ini dapat dilihat dari adanya perbedaan pemahanan agama pada tingkat usia yang berbeda.[[6]]
3.      Kepribadian
Kepribadian menurut pandangan psikologi terdiri dari dua unsur, yaitu unsur hereditas dan pengaruh lingkungan. Hubungan antara unsur hereditas dengan pengaruh lingkungan inilah yang membentuk kepribadian. Adanya kedua unsur yang membentuk kepribadian itu menyebabkan munculnya konsep tipologi dan karakter. Tipologi lebih ditekankan kepada unsur bawaan.
Dilihat dari pandangan tipologis, kepribadian manusia tidak dapat diubah karena sudah terbentuk berdasarkan komposisi yang terdapat dalam tubuh.
Sebaliknya, dilihat dari pendekatan karalterologis, kepribadian manusia dapat diubah dan tergantung dari pengaruh lingkungan masing-masing.
Berangkat dari pendekatan tipologis dan karakterologis, maka melihat ada unsur-unsur yang bersifat tetap dan unsur yang dapat berubah membentuk struktur kepribadian manusia. Unsur-unsur yang bersifat tetap berasal dari bawaan, sedangkan yang dapat beruabh adalah karakter. Namun demikian, karakter pun menurut Erich Fromm adalah relatif bersifat permanen.
Dari pendekatan tipologis maupun karakterologis, maka terlihat ada unsur-unsur yang bersifat tetap dan unsur-unsur yang dapat berubah membentuk struktur kepribadian manusia. Unsur-unsur yang bersifat tetap berasal dari unsur bawaan, sedangkan yang dapat berubah adalah karakter. Namun demikian, karakter pun menurut Erich Fromm relatif bersifat permanen.[[7]]
Unsur pertama (bawaan) merupakan faktor intern yang memberi ciri khas pada diri seseorang. Dalam kaitan ini kepribadian sering disebut identitas (jati diri) seseorang yang sedikit banyaknya menampilkan ciri-ciri pembeda dari individu lain di luarnya. Dalam kondisi normal, memang secara individu manusia memiliki perbedaan dalam kepribadiannya. Dan perbedaan ini diperkirakan berpengaruh terhadap perkembangan aspek-aspek kejiwaan termasuk jiwa keagamaan.
Di luar itu, dijumpai pula kondisi kepribadian yang menyimpang seperti kepribadianganda (double personality) dan sebagainya. Kondisi seperti ini bagaimanapun ikut mempengaruhi perkembanagn berbagai aspek kejiwaan pula. [[8]]
4.      Kondisi Kejiwaan
Kondisi kejiwaan ini terkait dengan kepribadian sebagai faktor intern. Ada beberapa model pendekatan yang mengungkapkan hubungan ini. Model psikodinamik yang dikemukakan Sigmund Freud menunjukkan gangguan kejiwaan ditimbulkan oleh konflik yang tertekan di alam ketidaksadaran manusia. Konflik akan menjadi sumber gejala kejiwaan yang abnormal. Selanjutnyua, menurut pendekatan biomedis, fungsi tubuh yang dominan mempengaruhi kondisi jiwa seseorang. Penyakit ataupun faktor genetik atau kondisi sistem saraf diperkirakan menjadi sumber munculnya perilaku abnormal. Kemudian pendekatan eksistensial menekankan pada dominasi pengalaman kekinian manusia. Dengan demikian, sikap manusia ditentukan oleh stimulan (rangsangan) lingkungan yang dihadapinya saat itu.
Walaupun kemudian ada pendekatan model gabungan. Enurut pendekatan ini pola kepribadian dipengaruhi oleh berbagai faktor dan bukan hanya oleh faktor-faktor tertentu saja. Pendekatan-pendekatan psikologi kepribadian ini menginformasikan bagaimana hubungan kepribadian  dengan kondisi kejiwaan manusia.
      Hubungn ini selanjutnya mengungkapkan bahwa ada suatu kondisi kejiwaan yang cenderung bersifat permanent pada diri manusia yang terkadang bersifat menyimpang (abnormal).
Gejala-gejala kejiwaan yang normal ini bersumber dari kondisi saraf, kejiwaan, dan kepribadian. Kondisi kejiwaan yang bersumber dari saraf akan menimbulkan gejala kecemasan saraf, absesi, dan kompulasi serta amnesia. Kondisi kejiwaan yang disebabkan oleh kejiwaan umumnya menyebabkan seseorang kehilangan kontak hubungan dengan dunia nyata. Gejala ini ditemui pada penderita shizoprenia yang akan mengisolasi diri dari kehidupan sosial, paranoia, maniac, serta infantile autism (berperilaku seperti anak-anak).[[9]]
      Barangkali, Banyak jenis perilaku abnormal yang bersumber dari kondisi kejiwaan yang tak wajar ini. Tetapi yang penting dicermati adalah hubungannya dengan perkembangan jiwa keagamaan. Sebab bagaimanapun seorang yang mengidap schizopernia akan mengisolasi diri dari kehidupan social serta persepsinya tentang agama akan dipengaruhi oleh berbagai halusinasi. Demikian pula pengidap phobia akan dicekam oleh perasaan takut yang irasional. Sedangkan penderita infantile autisme akan berperilaku seperti anak-anak di bawah usia sepuluh tahun.[[10]]

B.     Faktor Ekstern
            Manusia sering disebut homo relegius (makhluk beragama). Pernyataan ini menggambarkan bahwa manusia memiliki potensi dasar yang dapat dikembangkan sebagai makhluk beragama. Jadi manusia dilengkapi potensi berupakesiapan untuk menerima pengaruh luar sehinnga dirinya dpat dibentuk menjadi makhluk yang memiliki rasa dan perlaku keagamaan.
            Potensi yang dimiliki manusia ini secara umum disebut fitrah keagamaan, yaitu berupa kecenderungan untuk bertauhid. Sebagai potensi maka perlu adanya pengaruh yang berasal dari luar diri manusia. Pengaruh tersebut dapat berupa bimbingan, pembinaan, latihan, pendidikan, dan sebagainya, yang secara umumnya disebut sosialisasi.
      Faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan dapat dilihat dari lingkungan di mana seseorang itu hidup.
Faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan dapat dilihat dari lingkungan dimana seseorang itu hidup. Umumnya lingkungan tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu keluarga, institusi dan masyarakat.
1.      Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana dalam kehidupan manusia.
Anggota-anggotanya terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak. Bagi anak-anak, keluarga merupakan lingkungan social pertama yang dikenalnya. Dengan demikian, kehidupan keluarga menjadi fase sosialisasi awal bagi pembentukan jiwa keagamaan anak.[[11]]
      Sigmund Freud dengan konsep father image (citra kebapaan) menyatakan bahwa perkembangan jiwa keagamaan anak dipengaruhi oleh citra anak terhadap bapaknya. Jika seorang bapak menunjukkan sikap dan tingkah laku yang baik, maka anak akan cenderung mengidentifikasi sikap dan tingkah laku bapak pada dirinya. Begitu juga sebaliknya, jika bapak menampilkan sikap dan tingkah laku buruk akan berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian anak.
Pengaruh kedua orang tua terhadap perkembangan jiwa keagamaan anak dalam pandangan Islam sudah lama disadari. Oleh karena itu, sebagai intervensi terhadap perkembangan jiwa keagamaan tersebut, kedua orang tua diberikan beban tanggung jawab.
Ada semacam rangkaian ketentuan yang dianjurkan kepada orang tua, yaitu mengadzankan ke telinga bayi yang baru lahir, mengaqiqah, memberi nama yang baik, mengajarkan membaca Alqur’an, membiasakan shalat serta bimbingan lainnya yang sejalan dengan perintah agama. Keluarga dinilai sebagai faktor yang paling dominan dalam meletakkan dasar bagi perkembangan jiwa keagamaan.


2.      Lingkungan Institusional
Lingkungan institusional yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan dapat berupa institusi formal seperti sekolah ataupun yang nonformal seperti berbagai perkumpulan dan organisasi.
Sekolah sebagai institusi pendidikan formal ikut memberi pengaruh dalam membantu perkembangan kepribadian anak. Menurut Singgih D. Gunarsa pengaruh itu dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu 1) kurikulum dan anak;  2) hubungan guru dan murid; dan 3) hubungan antar anak. dilihat dari kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan, tampaknya  ketiga kelompok tersebutikut berpengaruh. Sebab, pada prinsipnya perkembangan jiwa keagamaan tak dapat dilepaskan dari upaya untuk membentuk kepribadian yang luhur.
 Dalam ketiga kelompok itu secara umumtersirat unsur-unsur yang menopang pembentukan tersebut seperti ketekunan, disiplin, kejujuran, simpati, sosiabilitas, toleransi, keteladanan, sabar dan keadilan. Perlakuan dan pembiasaan bagi pembentukan sifat-sifat seperti itu umumnya menjadi bagian dari program pendidikan di sekolah.
Melalui kurikulum, yang berisi materi pengajaran, sikap, dan keteladanan guru sebagai pendidik serta pergaulan antarteman di sekolah sinilai berperan dalam menanamkan kebiasaan yang baik. Pembiasaan yang baik merupakan bagian dari pembentukan moral yang erat kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan seseorang.[[12]]
3.      Lingkungan Masyarakat
Bisa dikatakan setelah menginjak usia sekolah, sebagian besar waktu jaganya dihabiskan di sekolah dan masyarakat.. berbeda dengan situasi di rumah dan sekolah, umumnya pergaulan di masyarakat kurang menekankan pada disiplin atau aturan yang harus dipatuhi secara ketat.
      Meskipun tampaknya longgar, namun kehidupan bermasyarakat dibatasi oleh berbagai norma dan nilai-nilai yang didukung warganya. Karena itu, setiap warga berusaha untuk menyesuaikan sikap dan tingkah laku dengan norma dan nilai-nilai yang ada. Dengan demikian, kehidupan bermasyarakat memiliki suatu tatanan yang terkondisi untuk dipatuhi bersama.
Lingkungan masyarakat bukan merupakan lingkungan yang mengandung unsur tanggung jawab, melainkan hanya merupakan unsure pengaruh belaka, tetapi norma dan tata nilai yang ada terkadang lebih mengikat sifatnya.
Bahkan terkadang pengaruhnya lebih besar dalam perkembangan jiwa keagamaan, baik dalam bentuk positif maupun negative. Misalnya, Lingkungan masyarakat yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat akan berpengaruh positif bagi perkembangan jiwa keagamaan anak, sebab kehidupan keagamaan terkondisi dalam tatanan nilai maupun institusi keagamaan. Keadaan seperti ini bagaimanapun akan berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan warganya.
Sebaliknya, dalam lingkungan masyarakat yang lebih cair atau bahkan cenderung sekuler, kondisi seperti ini jarang dijumpai. Kehidupan warganya lebih longgar, sehingga diperkirakan turut mempengaruhi kondisi kehidupan keagamaan warganya. 
C.    Fanatisme dan Ketaatan
            Fanatisme adalah kata terjemahan untuk ta’ashshub yang berasal dari kata ta’ashshaba. Orang yang memiliki sifat fanatik disebut dengan muta’ashshib. Dalam bahasa Arab ta’ashshub juga diartikan sebagai asy-syadd (pengikatan) dan asy-syiddah (kekerasan). Jika dikatakan, “Ta’shshaba rajulun ra`sahu”, berarti ia mengikat kepalanya dengan sorban. Sedangkan kata al-‘ashaabah artinya kelompok yang saling mengikat antara satu anggota dengan yang lain. Ta’ashshub adalah lawan dari kata tasamuh (toleran).
      Larangan fanatisme (ta’ashshub) sangat jelas diungkap dalam hadits Rasulullah Saw., “Bukan termasuk golongan kami (kaum Mukminin) orang yang mengajak kepada fanatisme, atau membunuh karena fanatisme, atau mati dalam keadaan fanatisme” (HR Abu Dawud dari Jabir).
Menurut Ibnu Taimiyah, hadits ini menjelaskan bahwa fanatisme seseorang secara mutlak pada suatu kelompok merupakan perbuatan kaum jahiliyah. Ini jelas dilarang dan dicela. Berbeda dengan perbuatan mencegah orang zalim atau membantu orang yang dizalimi, tanpa didorong oleh permusuhan, maka itu adalah baik, bahkan wajib hukumnya. Tak ada kontradiksi antara hal tersebut dengan ungkapan hadits, “Tolonglah saudaramu yang menzalimi dan yang dizalimi.” Menolong yang dizalimi kita sudah paham, sedangkan menolong yang menzalimi adalah dengan cara mencegah orang tersebut berbuat zalim.[[13]]
Arti fanatisme yang tercela, menurut Prof. Yusuf Qaradhawi adalah jika seseorang membela secara membabi buta terhadap keyakinannya, madzhabnya, pemikirannya, pendapatnya, kaumnya, dan kelompoknya, sehingga ia tidak mau melakukan dialog dengan orang yang berbeda dalam prinsip-prinsip dasar maupun variabel cabang dengannya. Atau jika ia menutup semua pintu rapat-rapat dari setiap orang yang hendak mendekat kepadanya, dan ia hanya mau menghadapi mereka dengan pedang.
Definisi fanatisme di atas amat penting untuk dipahami. Sebab sebagian orang ada yang menganggap siapa pun yang memiliki komitmen keagamaan yang tinggi sebagai orang fanatisme. Khususnya, jika ia berpegang teguh pada tuntunan perilaku yang ditinggalkan oleh kebanyakan orang. Seperti, memelihara jenggot bagi laki-laki, mengenakan jilbab atau cadar bagi wanita, dan sebagainya.
Sikap seperti di atas, sesungguhnya bukan termasuk fanatisme, jika lahir dari kesadaran diri dan dorongan batinnya yang terdalam akan suatu hukum syari’at yang ia pahami. Kita tidak boleh menyuruh orang yang meyakini sunnahnya memanjangkan jenggot untuk mencukur jenggotnya, hanya untuk menyenangkan orang lain atau agar tidak dianggap orang fanatisme. Kita pun tidak boleh melarang wanita mengenakan jilbab di sekolah atau di kantor dengan alasan aturan atau ketentuan yang dibuat-buat.
Kita baru bisa mengecam dan mencapnya fanatisme, jika ia hendak memaksakan pendapatnya pada setiap orang yang berbeda pandangan dengannya. Atau, menuduh mereka melakukan perbuatan maksiat dan lemah komitmen agamanya, hanya karena ia meyakini kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita. Meskipun kita tahu bahwa jilbab adalah sesuatu yang wajib bagi wanita Muslimah, sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nur ayat 31.
Fanatisme terjadi bila seseorang mematok akalnya pada pemikiran tertentu, dan tidak mau membuka pintu untuk berdialog dengan orang-orang yang berlainan keyakinan, pemikiran, pandangan fiqih, pandangan politik, serta tidak mau melakukan introspeksi sedikit pun. Ia malah menganggap pendapatnya sebagai yang paling benar, sedangkan pendapat orang lain salah dan keliru.
Seseorang yang bersikap fanatisme tidak melihat selain dirinya, tidak mendengar kecuali ucapannya sendiri, dan tidak percaya pada orang lain di luar kelompok atau jamaah tempat ia berafiliasi. Dari titik itulah ia berangkat dan ke arah itu pulalah ia finish. Ia menutup pikiran dan dirinya dari orang lain. Orang di luar kelompoknya dianggap “orang lain” (the others). Bahkan ada mengkafirkan lantaran tidak mau memberikan loyalitas kepada kelompoknya.[[14]]
Suatu tradisi keagamaan dapat menimbulkan dua sisi dalam perkembangan jiwa seseorang, yaitu fanatisme dan ketaatan. Mengacu kepada pendapat Erich Fromm bahwa karakter terbina melalui asimilasi dan sosialisasi, maka tradisi keagamaan memenuhi kedua aspek tersebut.
      Suatu tradisi membuka peluang bagi warganya untuk berhubungan dengan warga lainnya (sosialisasi). Selain itu juga, terjadi hubungan dengan benda-benda yang mendukung berjalannya tradisi keagamaan tersebut (asimilasi), seperti institusi keagamaan dan sejenisnya. Hubungan ini menurut Erich Fromm berpengaruh terhadap pembentukan karakter seseorang.[[15]]
      David Riesman melihat ada tiga model konfirmitas karakter, yaitu: 1) arahan tradisi (tradition directed); 2) arahan dalam (inner directed); dan 3) arahan orang lain (other directed), sebagai jabaran tipe karakter.Tetapi tulis Gardon Allport, Buss dan Plomin, perkembangan emosional merupakan sentral bagi konsep tempramen dan kepribadian.[[16]]
      David Riesman melihat bahwa tradisi kultural sering dijadikan penentu dimana seseorang harus melakukan apa yang telah dilakukan nenek moyang. Dalam menyikapi tradisi keagamaan juga tak jarang munculnya kecenderungan seperti itu. Jika kecenderungan taqlid keagamaan tersebut dipengaruhi unsur emosional yang berlebihan, maka terbuka peluang bagi pembenaran spesifik. Kondisi ini akan menjurus kepada fanatisme.
Sifat fanatisme dinilai merugikan bagi kehidupan beragama. Sifat ini dibedakan dari ketaatan. Sebab, ketaatan merupakan upaya untuk menampilkan arahan dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agama.
      Fanatisme ditimbulkan dari keterkaitan emosional dengan tradisi keagamaan yang dipahaminya benar. Jika seorang telah fanatic terhadap agamanya, maka ia akan melakukan segala hal pembenaran dari pemahamannya terhadap agama.
Sikap fanatic akan berdampak tidak harmonisnya dalam sistem sosial karena jika ada orang yang menentangnya, maka ia akan melakukan hal yang dapat membahayakan jiwa manusia, seperti kekerasan antaragama, teroris, dan lain sebagainya. Berbeda dengan ketaatan, karena taat merupakan menunjukkan sikap yang diarahkan oleh agamanya, mengahayati, dan mengamalkan ajaran agama.[[17]]
      Itulah bentuk fanatisme yang sesungguhnya. Mereka mengunci mati pendengaran, penglihatan dan hati mereka untuk menerima kebenaran yang disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami’. ‘(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti’” (QS Al-Baqarah: 170-171).
      Zaman telah berubah. Makna fanatisme pun mengalami distorsi. Orang yang berusaha keras untuk menerima dan mensosialisasikan kebenaran untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, seringkali mendapat cemoohan sebagai fanatisme.
Sementara, mereka yang memaksakan dan memasyarakatkan keburukan, kejahatan, kekejian, perjudian, perzinaan, dan yang sejenisnya tidak pernah dikecam. Bahkan masyarakat cenderung membiarkannya. Semoga kita tidak termasuk orang yang memiliki sikap fanatisme jahiliyah. Na’uudzubillahi min dzalik. Wallahu a’lam bishshawab. [[18]]
      Orang taat belum tentu fanatik. Istilah fanatik adalah orang yang membela mati-matian agamanya dengan cara apapun namun belum tentu mengerti ajaran dalam agamanya, sedangkan taat adalah orang yang telah mengerti ajaran dalam agamanya namun belum tentu membela mati-matian agamanya.
    Contoh sederhananya adalah saat pertandingan sepak bola. Orang bisa saja mendukung salah satu tim sepakbola atau istilahnya menjadi suporter tapi belum tentu mengerti ilmu dalam sepakbola atau palingan hanya taunya mencetak gol dengan memasukan bola ke kandang lawan, ini salah satu contoh sederhana dari orang fanatik.
    Sementara contoh sederhana dari orang taat adalah orang yang telah mengerti ilmu dalam sepakbola tapi belum tentu ia menjadi suporter salah satu tim sepakbola.
    Begitupun dalam agama. ada yang namanya tentara Hizbullah (Islam), tentara Salib (Katolik), tentara Reformator (Protestan), tentara Zionis (Yahudi), maupun tentara Khmer (Buddha) namun belum tentu mereka menjadi ustad, Pendeta, pastor, biksu, maupun rabbi.Fanatik sering disalah artikan dengan fanatik buta, picik. Fanatik buta atau picik adalah orang yang membela mati-matian ajaran atau aliran tertentu yang dibawakan oleh seseorang walaupun jelas-jelas yang dibelanya bersalah.Kita sebagai umat Tuhan harus fanatik, didalam kefanatikan baru ada ketaatan. Taat tetapi tidak fanatik, artinya taat karena takut.
      Masalahnya adalah apa yang kita fanatikan. Kalau kita fanatik terhadap agama, maka kita akan mentaati perintah agama, dan perintah agama itu adalah perintah manusia, adat istiadat dan tradisi. Akhirnya banyak orang dipermainkan oleh para pemimpin agama atau tokoh-tokohnya untuk kepentingan politik mereka. Karena yang mempu membuat dan merubah perintah, adat dan tradisi adalah mereka.
      Kita harus fanatik terhadap Tuhan, sebagai pencari Tuhan, sebagai pecinta Tuhan. Itu baru benar, sehingga kita percaya penuh dan bulat pada Tuhan dan FirmanNya, kita mentaati kehendak Tuhan dan hidup dengan iman yang bulat mengiring Tuhan. Itu baru fanatik yang benar.Ingatlah juga bahwa ada Roh Kudus yang diutus kedunia untuk membantu kita memahami Alkitab, memahami setiap pengajaran dan tafsir Alkitab, membimbing kita untuk melangkah bersama Tuhan. Karena itu jangan anda takut fanatik dan tesesat dengan pengajaran. Sebab Roh Kudus yang akan menyatakan apa yang benar dan salah. Fanatik yang tidak benar juga adalah fanatik terhadap denominasi atau tafsir denominasi. Itu membuat buta akan kebenaran dan menjadikan saudara seiman musuh jika bukan satu golongan organisasi.
      Tanpa fanatik, kita tidak memiliki iman yang cukup untuk mengalahkan dunia dan kepentingannya.“Mereka berkata, ‘Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu; sesungguhnya kami bekerja (pula)’” (QS Fushshilat: 5).
      Kadang kita mendengar seseorang melontarkan ungkapan “fanatik” kepada Muslim yang ketat dan hati-hati dalam melaksanakan ajaran Islam. Seorang Muslim yang mempertahankan pendapat bahwa berjabat tangan antara pria dan wanita yang bukan mahram adalah terlarang, dianggap fanatik. Yang mengatakan jilbab itu wajib adalah fanatik. Yang mengharamkan pacaran dicap fanatik, dan seterusnya.
D.    Cara Mengatasi Gangguan Jiwa Beragama
Proses perbaikan manusia selain memperbaiki organisasi tubuh dengan perintah syari’ah dalam makan-minum yang halal, baik, cukup dan tidak berlebihan, maka perlu pula memperbaiki aspek ilmu, pemahaman, dan kesadaran melalui serangkaian upaya da’wah (penyampaian secara sistematis dan kontinyu mana yang benar dan mana yang batil), tazkiyah (pembersihan Syubhat, musyrik, khurafat, dalam pikiran sehingga virus-virus pemikiran, dan  kesesatan cara berpikir dan pengetahuan yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam pendidikan (tarbiyah) yang lebih sistematik, maka kesalehan individu, kesalehan masyarakat dan kesalehan sistem bernegara menjadi bagian terintegrasi untuk melahirkan manusia sempurna (Al-Insanu al-Kamil).[[19]]
Larson dan Wilson (1982), menyimpulkan bahwa: “agama berperan sebagai pelindung dari berbagai problem dan bukan sebagai penyebab masalah”; bahwa religiusitas dimasa remaja sangat rendah, bahkan tidak ada, ternyata mempunyai resiko lebih tinggi terlibat dalam penyalahgunaan narkotik . Menurut Larson, orang yang rajin beribadah dan religiusitasnya tinggi, ternyata tekanan darahnya jauh lebih rendah dibandingkan orang yang tidak meyakini dan menghayati agama. Menurutnya, bahwa ada hubungan kausalitas antara religious commitment dengan penyakit kardiovaskuler. Berdasarkan sampel penelitiannya, bahwa kelompok yang menjalankan ibadah keagamaan secara rutin memiliki risiko lebih rendah terkena kardiovaskuler (tekanan darah tinggi).
Untuk mengatasi gangguan jiwa dibutuhkan terapi, karena terapi bertujuan untuk mengubah kesadaran individu, sehingga sumber permasalahan intrapsikis yang semula tidak sadar, menjadi sadar.[[20]]
Dibutuhkan terapi-terapi bertujuan untuk mengubah kesadaran individu, sehingga sumber permasalahan intrapsikis yang semula tidak sadar, menjadi sadar.
Terapi alternatif bagi gangguan kejiwaan:
1.      Pengobatan oleh kekuatan diri sendiri
2.      Pengaturan pola makan dan nutrisi
3.      Terapi dengan menggunakan hewan
4.      Terapi seni
5.      Terapi tari/gerak
6.      Terapi musik/bunyi
7.      Metode penyembuhan tradisional:
a.       Akupuntur
b.      Ayurveda
c.       yoga
Tingkah laku keagamaan orang dewasa memiliki persepektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. selain itu tinghkah laku itu umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengertian dan keluasan pemahaman dtentang ajran agama yang dianutnya. Beragama bagi orang dewasa sudah merupakan bagian dari komitmen hidupnya dan bukan sekedar ikut-ikutan. Menurut Jalaluddin, gambaran dan cerminan tingkah laku keagamaan orang dewasa dapat pula di lihat dari sikap keagamaanya yang memiliki ciri-ciri antara lain:
a) Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan secara ikut-ikutan.
b) Bersifat cenderung realis, sehingga norma-norma Agama lebih banyak di aplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
c) Bersikap positift thingking terhadap ajaran dan norma-norma agama dan berusaha mempelajari dan pemahaman agama.
d) Tingkat ketaatan agama, berdasarkan atas pertimbangan dan tanggungjawab diri sehingga sikap keberagamaan merupakan realisasi diri dari sikap hidup.
e) Bersikap yang lebih terbuka dan wawasan yang lebih luas.
f) Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain di dasarkan atas pertimbangan pikiran juga di dasarkan atas pertimbangan hati nurani.
g) Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terikat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami, serta melaksanakan ajaran agama yang di yakininya.
h) Terlihat hubungan antara sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sikap keagamaan terbentuk oleh dua faktor, yaitu faktor intern dan faktor ekstern.Faktor-faktor intern yang berpengaruh terhadap perkembangan jiwa keagamaan antara lain adalah faktor hereditas, tingkat usia, kepribadian dan kondisi kejiwaan seseorang.
Faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan dapat dilihat dari lingkungan di mana seseorang itu hidup.
Faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan dapat dilihat dari lingkungan dimana seseorang itu hidup. Umumnya lingkungan tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu keluarga, institusi dan masyarakat.
Fanatisme ditimbulkan dari keterkaitan emosional dengan tradisi keagamaan yang dipahaminya benar. Jika seorang telah fanatic terhadap agamanya, maka ia akan melakukan segala hal pembenaran dari pemahamannya terhadap agama. Sikap fanatic akan berdampak tidak harmonisnya dalam sistem sosial karena jika ada orang yang menentangnya, maka ia akan melakukan hal yang dapat membahayakan jiwa manusia, seperti kekerasan antaragama, teroris, dan lain sebagainya.
B. Kritik dan Saran
Untuk menuju kesempurnaan tentu butuh koreksi dari semua pihak yaitu koreksi yang bersifat konstruktif agar pembuatan makalah selanjutnya dapat lebih baik, oleh karena itu penulis mengharapkan adanya koreksi dari pembaca agar kesempurnaan dalam penulisan makalah dapat tercapai. Atas kritik dan sarannya kami ucapkan terimakasih.














DAFTAR PUSTAKA

Barnadib, Sutari Imam, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis. Yogyakarta: FIP-IKIP. 1987.
Iman, Setiadi Arif,Dinamika Kepribadian, Gangguan dan Terapinya. Bandung: Refika Aditama. 2006.
Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada. 2012
Purwonto, Yadi, dan Rachmat Mulyono. Psikologi Marah, Persepektif Psikologi Islami. Bandung: PT. Refika Aditama. 2006.
Purwanto, Yadi. Psikolgi Kepribaian Integritas Nafsiyah dan ‘Aqliyah. Bandung: PT Refika Aditama. 2007.
Y. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk Membimbing. Jakarta: Gunung Mulia. 1989.
William T. Garrison,  & Felson J. Earls, Temprament and Child Psychology. vol 12, London: 1987.






[1]Yadi Purwonto, dan Rachmat Mulyono, Psikologi Marah, Persepektif Psikologi Islami, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), hlm 60.

[2] Jalaluddin, Psikologi Agama. Hlm303-305.
[3]Jalaluddin, Psikologi Agama. Hlm 305-307.
[4] Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, Yogyakarta: FIP-IKIP, 1987 hal. 117.
[5]Ramayulis, Psikologi Agama. Hlm 137.
[6]Jalaluddin, Psikologi Agama. Hlm 307-308.
[7]Ibid, Hlm 308
[8]Jalaluddin, Psikologi Agama. Hlm 309-310.
[9]Ibid, Hlm 310
[10]Jalaluddin, psikologi Agama. Hlm 310-311.
[11]Ibid, Hlm 312.
[12]Jalaluddin, Psikologi Agama. Hlm 313
[13]Y. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk Membimbing, Jakarta: Gunung Mulia, 1989,  hal 96.
[14] Y. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk Membimbing, Jakarta: Gunung Mulia, 1989,  hal 97
[15]Jalaluddin, Psikologi Agama, Hlm 314
[16]William T. Garrison,  & Felson J. Earls, Temprament and Child Psychology, vol 12, London, 1987, hal. 39.
[17]Jalaluddin, Psikologi Agama, Hlm 315
[18] Y. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa, Psikologi untuk Membimbing, Jakarta: Gunung Mulia, 1989,  hal 98
[19] Yadi Purwanto, Psikolgi Kepribaian Integritas Nafsiyah dan ‘Aqliyah, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), hlm. 156.
[20]Setiadi Arif, Iman, Dinamika Kepribadian, Gangguan dan Terapinya, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hal. 87.

1 komentar:

  1. Online Casino Canada – A Safe & Secure Way to Play
    As of now, Canadian players can access online casino online Canada. With over 888 바카라 Casino and over 888 Sportsbook available to play, it is a septcasino must play online 제왕카지노

    BalasHapus